Topik ini berisi pembahasan tentang
masalah keimanan dan pengkajian kembali dalam masalah tersebut. Sebagian
aspek keimanan mendapat perhatian dan pengkajian yang begitu intensif,
sehingga mudah didapat di tengah masyarakat. Aspek yang akan dikaji dalam
tulisan ini adalah aspek kejiwaan dan nilai. Aspek ini belum mendapat
perhatian seperti perhatian terhadap aspek lainnya. Kecintaan kepada Allah,
ikhlas beramal hanya karena Allah, serta mengabdikan diri dan tawakal
sepenuhnya kepada-Nya, merupakan nilai keutamaan yang perlu diperhatikan
dan harus diutamakan dalam menyempurnakan cabang-cabang keimanan.
Sesungguhnya amalan lahiriah berupa ibadah mahdhah dan muamalah
tidak akan mencapai kesempurnaan, kecuali jika didasari dan diramu dengan
nilai keutamaan tersebut. Sebab nilai-nilai tersebut senantiasa mengalir
dalam hati dan tertuang dalam setiap gerak serta perilaku keseharian.
Pendidikan modern telah mempengaruhi peserta didik dari berbagai arah
dan pengaruhnya telah sedemikian rupa merasuki jiwa generasi penerus. Jika
tidak pandai membina jiwa generasi mendatang, “dengan menanamkan
nilai-nilai keimanan dalam nalar pikir dan akal budi mereka”, maka mereka
tidak akan selamat dari pengaruh negatif pendidikan modern. Mungkin mereka
merasa ada yang kurang dalam sisi spiritualitasnya dan berusaha
menyempurnakan dari sumber-sumber lain. Bila ini terjadi, maka perlu segera
diambil tindakan, agar pintu spiritualitas yang terbuka tidak diisi oleh
ajaran lain yang bukan berasal dari ajaran spiritualitas Islam.
Seorang muslim yang paripurna adalah yang nalar dan hatinya bersinar,
pandangan akal dan hatinya tajam, akal pikir dan nuraninya berpadu dalam
berinteraksi dengan Allah dan dengan sesama manusia, sehingga sulit diterka
mana yang lebih dahulu berperan kejujuran jiwanya atau kebenaran akalnya.
Sifat kesempurnaan ini merupakan karakter Islam, yaitu agama yang membangun
kemurnian akidah atas dasar kejernihan akal dan membentuk pola pikir
teologis yang menyerupai bidang-bidang ilmu eksakta, karena dalam segi
akidah, Islam hanya menerima hal-hal yang menurut ukuran akal sehat dapat
diterima sebagai ajaran akidah yang benar dan lurus.
Pilar akal dan rasionalitas dalam akidah Islam tercermin dalam aturan muamalat
dan dalam memberikan solusi serta terapi bagi persoalan yang dihadapi.
Selain itu Islam adalah agama ibadah. Ajaran tentang ibadah didasarkan atas
kesucian hati yang dipenuhi dengan keikhlasan, cinta, serta dibersihkan
dari dorongan hawa nafsu, egoisme, dan sikap ingin menang sendiri. Agama
seseorang tidak sempurna, jika kehangatan spiritualitas yang dimiliki tidak
disertai dengan pengalaman ilmiah dan ketajaman nalar. Pentingnya akal bagi
iman ibarat pentingnya mata bagi orang yang sedang berjalan.
Perkataan ilah,
yang selalu diterjemahkan “Tuhan”, dalam al-Qur’an dipakai untuk
menyatakan berbagai objek yang dibesarkan atau dipentingkan manusia,
misalnya dalam surat al-Furqan ayat 43.
Terangkanlah kepadaku
tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya ?
Dalam surat al-Qashash ayat 38, perkataan ilah dipakai oleh
Fir’aun untuk dirinya sendiri:
Dan Fir’aun berkata:
‘Wahai para pembesar hambaku, aku tidak mengetahui Tuhan bagimu selain
aku’.
Contoh ayat-ayat tersebut di atas menunjukkan
bahwa perkataan ilah bisa mengandung arti berbagai benda, baik
abstrak (nafsu atau keinginan pribadi maupun benda nyata (Fir’aun atau
penguasa yang dipatuhi dan dipuja). Perkataan ilah dalam al-Qur’an
juga dipakai dalam bentuk tunggal (mufrad: ilaahun), ganda (mutsanna:
ilaahaini), dan banyak (jama’: aalihatun). Bertuhan nol atau
atheisme tidak mungkin. Untuk dapat mengerti tentang definisi Tuhan
atau Ilah yang tepat, berdasarkan logika al-Qur’an adalah sebagai
berikut:
Tuhan (ilah) ialah sesuatu yang dipentingkan (dianggap penting)
oleh manusia sedemikian rupa, sehingga manusia merelakan dirinya dikuasai
olehnya.
Perkataan dipentingkan hendaklah diartikan secara luas. Tercakup
di dalamnya yang dipuja, dicintai, diagungkan, diharap-harapkan dapat
memberikan kemaslahatan atau kegembiraan, dan termasuk pula sesuatu yang
ditakuti akan mendatangkan bahaya atau kerugian.
Ibnu Taimiyah memberikan definisi al-ilah sebagai berikut:
Al-ilah ialah: yang
dipuja dengan penuh kecintaan hati, tunduk kepadanya, merendahkan diri di
hadapannya, takut, dan mengharapkannya, kepadanya tempat berpasrah ketika
berada dalam kesulitan, berdo’a, dan bertawakkal kepadanya untuk
kemaslahatan diri, meminta perlindungan dari padanya, dan menimbulkan
ketenangan di saat mengingatnya dan terpaut cinta kepadanya. (M. Imaduddin, 1989: 56).
Berdasarkan definisi tersebut di atas dapat dipahami, bahwa Tuhan itu
bisa berbentuk apa saja, yang dipentingkan oleh manusia. Yang pasti ialah
manusia tidak mungkin atheis, tidak mungkin tidak ber-Tuhan. Berdasarkan
logika al-Qur’an setiap manusia pasti mempunyai sesuatu yang
dipertuhankannya. Dengan demikian, orang-orang komunis pada hakikatnya
ber-Tuhan juga. Adapun Tuhan mereka ialah ideologi atau angan-angan
(utopia) mereka.
Dalam ajaran Islam
diajarkan kalimat “Laa illaha illaa Allah”. Susunan kalimat tersebut
dimulai dengan peniadaan, yaitu “tidak ada Tuhan”, kemudian baru diikuti
dengan suatu penegasan “melainkan Allah”. Hal itu berarti bahwa seorang
muslim harus membersihkan dari segala macam Tuhan terlebih dahulu, yang ada
dalam hatinya hanya satu Tuhan yang bernama Allah.
C. Sejarah Pemikiran Manusia tentang Tuhan
1. Pemikiran Barat
Yang dimaksud konsep
Ketuhanan menurut pemikiran manusia adalah konsep yang didasarkan atas
hasil pemikiran baik melalui pengalaman lahiriah maupun batiniah, baik yang
bersifat penelitian rasional maupun pengalaman batin. Dalam literatur sejarah
agama, dikenal teori evolusionisme, yaitu teori yang menyatakan adanya
proses dari kepercayaan yang amat sederhana, lama kelamaan meningkat
menjadi sempurna. Teori tersebut mula-mula dikemukakan oleh Max Muller,
kemudian dikemukakan oleh EB Taylor, Robertson Smith, Lubbock, dan Jevens.
Proses perkembangan pemikiran tentang Tuhan menurut teori evolusionisme
adalah sebagai berikut:
a. Dinamisme
Menurut paham ini, manusia sejak zaman primitif telah mengakui adanya
kekuatan yang berpengaruh dalam kehidupan. Mula-mula sesuatu yang
berpengaruh tersebut ditujukan pada benda. Setiap benda mempunyai pengaruh
pada manusia, ada yang berpengaruh positif dan ada pula yang berpengaruh
negatif. Kekuatan yang ada pada benda disebut dengan nama yang
berbeda-beda, seperti mana (Melanesia), tuah (Melayu), dan syakti
(India). Mana adalah kekuatan gaib yang tidak dapat dilihat atau
diindera dengan pancaindera. Oleh karena itu dianggap sebagai sesuatu yang
misterius. Meskipun mana tidak dapat diindera, tetapi ia dapat dirasakan
pengaruhnya.
b. Animisme
Di samping kepercayaan dinamisme, masyarakat primitif juga mempercayai
adanya peran roh dalam hidupnya. Setiap benda yang dianggap benda
baik, mempunyai roh. Oleh masyarakat primitif, roh dipercayai sebagai
sesuatu yang aktif sekalipun bendanya telah mati. Oleh karena itu, roh
dianggap sebagai sesuatu yang selalu hidup, mempunyai rasa senang, rasa
tidak senang, serta mempunyai kebutuhan-kebutuhan. Roh akan senang apabila
kebutuhannya dipenuhi. Menurut kepercayaan ini, agar manusia tidak terkena
efek negatif dari roh-roh tersebut, manusia harus menyediakan kebutuhan
roh. Saji-sajian yang sesuai dengan advis dukun adalah salah satu usaha
untuk memenuhi kebutuhan roh.
c. Politeisme
Kepercayaan dinamisme dan animisme lama-lama tidak memberikan kepuasan,
karena terlalu banyak yang menjadi sanjungan dan pujaan. Roh yang lebih
dari yang lain kemudian disebut dewa. Dewa mempunyai tugas dan kekuasaan
tertentu sesuai dengan bidangnya. Ada Dewa yang bertanggung jawab terhadap
cahaya, ada yang membidangi masalah air, ada yang membidangi angin dan lain
sebagainya.
d. Henoteisme
Politeisme tidak memberikan kepuasan terutama terhadap kaum cendekiawan.
Oleh karena itu dari dewa-dewa yang diakui diadakan seleksi, karena tidak
mungkin mempunyai kekuatan yang sama. Lama-kelamaan kepercayaan manusia
meningkat menjadi lebih definitif (tertentu). Satu bangsa hanya mengakui
satu dewa yang disebut dengan Tuhan, namun manusia masih mengakui Tuhan (Ilah)
bangsa lain. kepercayaan satu Tuhan untuk satu bangsa disebut dengan
henoteisme (Tuhan tingkat Nasional).
e. Monoteisme
Kepercayaan dalam bentuk henoteisme melangkah menjadi monoteisme. Dalam
monoteisme hanya mengakui satu Tuhan untuk seluruh bangsa dan bersifat
internasional. Bentuk monoteisme ditinjau dari filsafat Ketuhanan terbagi
dalam tiga paham yaitu: deisme, panteisme, dan teisme.
Evolusionisme dalam kepercayaan terhadap Tuhan sebagaimana dinyatakan
oleh Max Muller dan EB. Taylor (1877), ditentang oleh Andrew Lang (1898)
yang menekankan adanya monoteisme dalam masyarakat primitif. Dia
mengemukakan bahwa orang-orang yang berbudaya rendah juga sama
monoteismenya dengan orang-orang Kristen. Mereka mempunyai kepercayaan pada
wujud yang Agung dan sifat-sifat yang khas terhadap Tuhan mereka, yang
tidak mereka berikan kepada wujud yang lain.
Dengan lahirnya pendapat Andrew Lang, maka berangsur-angsur golongan
evolusionisme menjadi reda dan sebaliknya sarjana-sarjana agama terutama di
Eropa Barat mulai menantang evolusionisme dan memperkenalkan teori baru
untuk memahami sejarah agama. Mereka menyatakan bahwa ide tentang Tuhan
tidak datang secara evolusi, tetapi dengan relevansi atau wahyu. Kesimpulan
tersebut diambil berdasarkan pada penyelidikan bermacam-macam kepercayaan
yang dimiliki oleh kebanyakan masyarakat primitif. Dalam penyelidikan
didapatkan bukti-bukti bahwa asal-usul kepercayaan masyarakat primitif
adalah monoteisme dan monoteisme adalah berasal dari ajaran wahyu Tuhan. (Zaglul Yusuf, 1993:
26-37).
2. Pemikiran Umat Islam
Dikalangan umat Islam
terdapat polemik dalam masalah ketuhanan. Satu kelompok berpegang teguh
dengan Jabariah, yaitu faham yang mengatakan bahwa Tuhan mempunyai kekuatan
mutlah yang menjadi penentu segalanya. Di lain pihak ada yang berpegang
pada doktrin Qodariah, yaitu faham yang mengatakan bahwa manusialah yang
menentukan nasibnya. Polemik dalam masalah ketuhanan di kalangan umat Islam
pernah menimbulkan suatu dis-integrasi (perpecahan) umat Islam, yang cukup
menyedihkan. Peristiwa al-mihnah yaitu pembantaian terhadap para tokoh
Jabariah oleh penguasa Qadariah pada zaman khalifah al-Makmun (Dinasti
Abbasiah). Munculnya faham Jabariah dan Qadariah berkaitan erat dengan
masalah politik umat Islam setelah Rasulullah Muhammad meninggal. Sebagai
kepala pemerintahaan, Abu Bakar Siddiq secara aklamasi formal diangkat
sebagai pelanjut Rasulullah. Berikutnya digantikan oleh Umar Ibnu
Al-Khattab, Usman dan Ali.
Embrio ketegangan politik sebenarnya
sudah ada sejak khalifah Abu Bakar, yaitu persaingan segitiga antara
sekompok orang Anshar (pribumi Madinah), sekelompok orang Muhajirin yang
fanatik dengan garis keturunan Abdul Muthalib (fanatisme Ali), dan kelompok
mayoritas yang mendukung kepemimpinan Abu Bakar. Pada periode kepemimpinan
Abu Bakar dan Umar gejolak politik tidak muncul, karena sikap khalifah yang
tegas, sehingga kelompok oposisi tidak diberikan kesempatan melakukan
gerakannya.
Ketika khalifah dipegang oleh Usman Ibn
Affan (khalifa ke 3), ketegangan politik menjadi terbuka. Sistem nepotisme
yang diterapkan oleh penguasa (wazir) pada masa khalifah Usman menjadi
penyebab adanya reaksi negatif dari kalangan warga Abdul Muthalib.
Akibatnya terjadi ketegangan,yang menyebabkan Usman sebagai khalifah
terbunuh. Ketegangan semakin bergejolak pada khalifah berikutnya, yaitu Ali
Ibn Abi Thalib. Dendam yang dikumandangkan dalam bentuk slogan bahwa
darah harus dibalas dengan darah, menjadi motto bagi kalangan oposisi
di bawah kepemimpinan Muawiyah bin Abi Sufyan. Pertempuran antara dua kubu
tidak terhindarkan. Untuk menghindari perpecahan, antara dua kubu yang
berselisih mengadakan perjanjian damai. Nampaknya bagi kelompok Muawiyah,
perjanjian damai hanyalah merupakan strategi untuk memenangkan pertempuran.
Amru bin Ash sebagai diplomat Muawiyah mengungkapkan penilaian sepihak.
Pihak Ali yang paling bersalah, sementara pihaknya tidak bersalah. Akibat
perjanjian itu pihak Ali (sebagai penguasa resmi) tersudut. Setelah
dirasakan oleh pihak Ali bahwa perjanjian itu merugikan pihaknya, di
kalangan pendukung Ali terbelah menjadi dua kelompok, yaitu : kelompok yang
tetap setia kepada Ali, dan kelompok yang menyatakan keluar, namun tidak
mau bergabung dengan Muawiyah. Kelompok pertama disebut dengan kelompok
SYIAH, dan kelompok kedua disebut dengan KHAWARIJ. Dengan demikian umat
Islam terpecah menjadi tiga kelompok politik, yaitu: 1) Kelompok Muawiyah
(Sunni), 2) Kelompok Syi’ah, dan 3) Kelompok Khawarij.
Untuk memenangkan kelompok dalam menghadapi
oposisinya, mereka tidak segan-segan menggunakan konsep asasi. Kelompok
yang satu sampai mengkafirkan kelompok lainnya. Menurut Khawarij
semua pihak yang terlibat perjanjian damai baik pihak Muawiyah maupun pihak
Ali dinyatakan kafir. Pihak Muawiyah dikatakan kafir karena menentang
pemerintah, sedangkan pihak Ali dikatakan kafir karena tidak bersikap tegas
terhadap para pemberontak, berarti tidak menetapkan hukum berdasarkan
ketentuan Allah. Mereka mengkafirkan Ali dan para pendukungknya,
berdasarkan Al-Quran Surat Al-Maidah (5) : 44
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ
الْكَافِرُونَ
Siapa yang tidak menegakkan hukum sesuai
dengan apa yang diturunkan Allah (Al-Quran), maka mereka dalah orang-orang
kafir.
Munculnya doktrin saling mengkafirkan antara
satu kelompok dengan kelompok lain membuat pertanyaan besar bagi kalangan
cendikiawan. Pada suatu mimbar akademik (pengajian) muncul pertanyaan dari
peserta pengajian kepada gurunya yaitu Hasan Al-Bashry. Pertanyaan yang
diajukan berkaitan dengan adanya perbedaan pendapat tentang orang
yang berbuat dosa besar. Sebagian pendapat mengatakan bahwa mereka itu
adalah mukmin, sedangkan pendapat lain mengatakan kafir. Para pelaku
politik yang terlibat tahkim perjanjian antara pihak Ali dan pihak
Muawiyah, mereka dinilai sebagai pelaku dosa besar. Alasan yang mengatakan
mereka itu mukmin beralasan bahwa iman itu letaknya di hati, sedangkan
orang lain tidak ada yang mengetahui hati seseorang kecuali Allah.
Sedangkan pendapat lainnya mengatakan bahwa iman itu bukan hanya di hati
melainkan berwujud dalam bentuk ucapan dan perbuatan. Berarti orang yang
melakukan dosa besar dia adalah bukan mukmin. Kalau mereka bukan mukmin
berarti mereka kafir.
Sebelum guru besarnya memberikan jawaban
terhadap pertanyaan yang dimajukan tentang dosa besar tersebut, seorang
peserta pengajian yang bernama Wasil ibnu Atha mengajukan jawaban, bahwa
pelaku dosa besar bukan mukmin dan bukan kafir melainkan diantara keduanya.
Hasan Al-Bashry sebagai pembina pengajian tersebut memeberikan komentar,
terhadap jawaban Wasil. Komentarnya bahwa pelaku dosa besar termasuk yang
terlibat dalam perjanjian damai termasuk kelompok fasik. Wasil membantah
komentar gurunya itu, karena orang yang fasik lebih hina dimata Allah
ketimbang orang yang kafir. Akibat polemik tersebut Wasil bersama beberapa
orang yang sependapat dengannya memisahkan diri dari kelompok
pengajian Hasal Al-Bashry. Peserta pengajian yang tetap bergabung bersama
Hasan Al-Bashry mengatakan, “I’tazala Wasil ‘anna.” (Wasil telah memisahkan
diri dari kelompok kita.) Dari kata-kata inilah Wasil dan pendukungnya
disebut kelompok MUKTAZILAH. (Lebih jelasnya lihat Harun Nasution dalam
Teologi Islam).
Kelompok Muktazilah mengajukan konsep-konsep
yang bertentangan dengan konsep yang diajukan golongan Murjiah (aliran
teologi yang diakui oleh penguasa politik pada waktu itu, yaitu Sunni.
Berarti Muktazilah sebagai kelompok penentang arus). Doktrin Muktazilah
terkenal dengan lima azas (ushul al-khamsah) yaitu:
- meniadakan (menafikan) sifat-sifat Tuhan dan menetapkan
zat-Nya
- Janji dan ancaman Tuhan (al-wa’ad dan al-wa’id)
- Keadilan Tuhan (al-‘adalah)
- Al-Manzilah baina al-manzilatain (posisi diatara dua
posisi)
- Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar.
Dari lima azas tersebut – menurut Muktazilah
– Tuhan terikat dengan kewajiban-kewajiban. Tuhan wajib memenuhi janjinya.
Ia berkewajiban memasukkan orang yang baik ke surga dan wajib memasukkan
orang yang jahat ke neraka, dan kewajiban-kewajiban lain.
Pandangan-pandangan kelompok ini menempatkan akal manusia dalam posisi yang
kuat. Sebab itu kelompok ini dimasukkan ke dalam kelompok teologi rasional
dengan sebutan Qadariah.
Sebaliknya, aliran teologi tradisional
(Jabariah) berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat (sifat 20, sifat 13, dan
maha sifat). Ia maha kuasa, memiliki kehendak mutlak. Kehendak Tuhan tidak
terikat dengan apapun. Karena itu ia mungkin saja menempatkan orang yang
baik ke dalam neraka dan sebaliknya mungkin pula ia menempatkan orang jahat
ke dalam surga, kalau Ia menghendaki. Dari faham Jabariah inilah ilmu-ilmu
kebatinan berkembang di sebagaian umat Islam.
3. Konsep Ketuhanan dalam Islam
Istilah Tuhan dalam sebutan Al-Quran
digunakan kata ilaahun, yaitu setiap yang menjadi penggerak atau motivator,
sehingga dikagumi dan dipatuhi oleh manusia. Orang yang mematuhinya di
sebut abdun (hamba). Kata ilaah (tuhan) di dalam Al-Quran konotasinya ada
dua kemungkinan, yaitu Allah, dan selain Allah. Subjektif (hawa
nafsu) dapat menjadi ilah (tuhan). Benda-benda seperti : patung, pohon,
binatang, dan lain-lain dapat pula berperan sebagai ilah. Demikianlah
seperti dikemukakan pada surat Al-Baqarah (2) : 165, sebagai berikut:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا
يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ
Diantara manusia ada yang bertuhan
kepada selain Allah, sebagai tandingan terhadap Allah. Mereka mencintai tuhannya
itu sebagaimana mencintai Allah.
Sebelum turun Al-Quran dikalangan masyarakat
Arab telah menganut konsep tauhid (monoteisme). Allah sebagai Tuhan mereka.
Hal ini diketahui dari ungkapan-ungkapan yang mereka cetuskan, baik dalam
do’a maupun acara-acara ritual. Abu Thalib, ketika memberikan khutbah nikah
Nabi Muhammad dengan Khadijah (sekitar 15 tahun sebelum turunya Al-Quran)
ia mengungkapkan kata-kata Alhamdulillah. (Lihat Al-Wasith,hal 29). Adanya
nama Abdullah (hamba Allah) telah lazim dipakai di kalangan masyarakat Arab
sebelum turunnya Al-Quran. Keyakinan akan adanya Allah, kemaha besaran
Allah, kekuasaan Allah dan lain-lain, telah mantap. Dari kenyataan tersebut
timbul pertanyaan apakah konsep ketuhanan yang dibawakan Nabi Muhammad?
Pertanyaan ini muncul karena Nabi Muhammad dalam mendakwahkan konsep
ilahiyah mendapat tantangan keras dari kalangan masyarakat. Jika konsep
ketuhanan yang dibawa Muhammad sama dengan konsep ketuhanan yang mereka
yakini tentu tidak demikian kejadiannya.
Pengakuan mereka bahwa Allah sebagai
pencipta semesta alam dikemukakan dalam Al-Quran surat Al-Ankabut (29) ayat
61 sebagai berikut;
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَوَسَخَّرَ
الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ فَأَنَّى يُؤْفَكُونَ
Jika kepada mereka ditanyakan, “Siapa yang
menciptakan lagit dan bumi, dan menundukkan matahari dan bulan?” Mereka
pasti akan menjawab Allah.
Dengan demikian seseorang yang mempercayai
adanya Allah, belum tentu berarti orang itu beriman dan bertaqwa kepada-Nya.
Seseorang baru laik dinyatakan bertuhan kepada Allah jika ia telah memenuhi
segala yang dimaui oleh Allah. Atas dasar itu inti konsep ketuhanan Yang
Maha Esa dalam Islam adalah memerankan ajaran Allah yaitu Al-Quran dalam
kehidupan sehari-hari. Tuhan berperan bukan sekedar Pencipta, melainkan
juga pengatur alam semesta.
Pernyataan lugas dan sederhana cermin
manusia bertuhan Allah sebagaimana dinyatakan dalam surat Al-Ikhlas. Kalimat
syahadat adalah pernyataan lain sebagai jawaban atas perintah yang dijaukan
pada surat Al-Ikhlas tersebut. Ringkasnya jika Allah yang harus
terbayang dalam kesadaran manusia yang bertuhan Allah adalah disamping
Allah sebagai Zat, juga Al-Quran sebagai ajaran serta Rasullullah sebagai
Uswah hasanah.
|
0 komentar:
Posting Komentar